Minggu, 19 Januari 2014

WHAT IS A NAME

Oleh : Sugiarti Ahmad
            Katanya Eyang Shakespeare, itu lho, seorang pujangga Inggris yang sangat terkenal dengan sebuah maha karyanya  yang berjudul Romeo and Juliet,  “What is a name.” 
Kalau bahasa kerennya sih kurang lebih berarti, “Apalah artinya sebuah nama.”
Mungkin, bagi Eyang Shakespeare, nama bukanlah sesuatu yang perlu untuk diperdebatkan dan diributkan.
Wah…., gak gue banget, deh!  Bagiku, nama adalah sebuah bentuk lain dari ‘musibah’.  Kenapa begitu? Karena gara-gara sebuah nama, aku menjadi bahan olok-olokkan teman sepermainan dan teman-teman di dunia persekolahan…
            Sesungguhnya, nama pemberian orang tuaku biasa aja, nggak aneh dan nggak norak banget.  Ini sih, masih menurut pendapatku pribadi.:)
Baiklah supaya gak pada penasaran dan bertanya-tanya, dan untuk menghindari keributan bahkan sampai ada yang nggak bisa tidur segala gaga-gara mikirin namaku.  Di sini bakalan diumum-in siapa sih sebenarnya namaku. 
Aku akan ungkapkan semuanya, sejelas-jelasnya tanpa ada yang ditutup-tutupi seputar nama asliku… (ciee serasa selebritis yang lagi dikejar-kejar pemburu berita ni…he..he..)
  Okay, ready? Nama lengkap-kap pemberian orang tuaku adalah …(*suara music mendebarkan…jreng..jeng..jeng..jreeeeeeng…), SUGIARTI, titik. ‘Gak ada embel-embel lainnya. 
Nama yang sama sekali gak komersil dan gak keren abis.  Nama yang kampungan dan banyak sekali dijumpai di jalanan? Ah.. sebenernya gak juga sih bisa dijumpai di jalanan…he..he.  Itu sih bisa-bisanya aku aja mendramatisir.  Cuma …ya memang nama sejenis itu bisa dijumpai dibanyak tempat dan banyak diminati oleh beberapa kalangan.
Di toko kelontong depan rumahku aja ada, bukan untuk dijual …, tetapi pelayan tokonya, ada yang bernama Sugiarti. 
Dari kalangan selebritis sampai kalangan yang hidup serba ‘miris’, ada yang memakai nama ini.
Suatu ketika, saat penyakit isengku kambuh, aku mencoba menelusuri nama ‘Sugiarti’  di tempatnya Mbah Google. Di luar perkiraan, angka yang muncul adalah 680.000 ( enam ratus delapan puluh ribu ).  Wuih, suatu angka yang fantastis sekali, menurutku.
Data ini aku dapat per tanggal 21 May 2012.  Dan  akan selalu ada kemungkinan jumlah ini terus bertambah. Seiring pertambahan penduduk yang sulit dicegah.
Ketika aku telusuri lebih dalam daftar nama tersebut di tempatnya Mbah Google, aku menemukan bahwa ada yang memakai nama Sugiarti, aja. Ada yang memakai sebagai nama depan, seperti Sugiarti Mawarni.  Ada juga yang memakai sebagai nama belakang, semisal Iis Sugiarti yang merupakan seorang penyanyi pada suatu tempo doeloe. 
Pokoke…, intinya..., nama Sugiarti ini adalah nama yang pasaran banget. Eh, tunggu dulu…. Atau nama Sugiarti ini justru sebuah nama yang banyak digemari atau bahasa kerennya booming? Waaah…. ( Ge- Er deh gw...he..he..) Entahlah!  Tapi, yang jelas, menyandang nama ini membuat hidupku terasa kehilangan nikmat dan manfaat.
Hu-uhh, benar-benar sebuah nama yang membuat ‘gengsiku ancuuurr abiisss.  MaluuuuUUU…. menyandang nama ini ( U– nya sengaja dibanyakin saking malunya dah tingkat tinggi :).
            Tambahan lagi dengan trennya orang Indonesia yang suka memanggil nama orang  dengan sepotong-sepotong.  Lengkaplah sudah penderitaanku.
            Di rumah, aku dipanggil dengan dua huruf terakhir  namaku, ‘Ti’ (baca : Tik).  Sebenarnya gak ada yang salah dengan nama panggilan ini,  Hanya saja, teman-teman sepermainanku yang ‘kelewat’ kreatif lebih suka memanggilku dengan sedikit lebih berirama.  “Tik … Tik … Tik … bunyi hujan di atas genting”.   Nah Lho, malah nyanyi.
            Sewaktu aku duduk di bangku  Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP), teman-teman  memberiku nama panggilan baru.  Episode namaku pada tingkatan  ini lebih penuh ‘warna-warni’ bak pelangi.  Di masa ini, nama panggilanku  menjadi lebih bervariasi. 
            Teman-teman sekolah yang kebetulan sama-sama tergabung dalam gerakan pramuka memanggilku, Sugi.  Ada yang berbaik hati memanggil dengan nama lengkap, Sugiarti.  Tetapi, ada juga yang ngisengin memanggil dengan ‘ber-Sugi’ yang artinya kurang lebih membersihkan gigi atau bersiwak. 
Memangnya aku, si ‘Rainbow’, burung nuri  yang suka membersihkan plak-plak di gigi, hiiiyyy…
Itu masih bagus, teman sekelasku di Tsanawiyah, Roni yang  kreatif dan cukup aktif, malah lebih parah lagi, memanggilku dengan dua huruf nama depanku, yaitu  huruf ‘S’ dan ‘U’ menjadi Su.  Kalau hanya memanggil ‘Su’ saja sebenarnya gak masalah.  Lha, ini memanggilnya berulang-ulang. 
“Su… Su….  Su-Su.”
 Emangnya gue pedang susu apa!
 Sebel!
Lain Tsanawiyah, lain pula cerita namaku pada masa SMK.  Pada masa awal-awal Sekolah Menengah Kejuruan ( SMK ) ini, aku mendapatkan nama panggilan baru.  Mayoritas teman-temanku di SMK, memanggilku, Ugie. 
Menurutku, panggilan ini lumayan enak didengar dan sedikit unik.  Aku mulai jatuh hati pada nama ini dan mulai mensosialisasikan nama panggilan ini ke teman-teman di sekolah yang baru.
            “Panggil aja, Ugie,” kataku suatu kali pada Tongku, seorang teman yang sama-sama aktif di OSIS.
            “Hah! Apa?”
            “Ugie.  U-G-I.” ejaku.
            “Oh, Ugi.  Gue kira tadi apa-an.  Untung gak ada ‘R’-nya ya?  Kalo ada…. ‘kan jadi R-ugi..…ha ha ha,” tawanya lepas.
            Aku  ikutan tersenyum, walaupun sesungguhnya dalam hati sedikit ‘manyun’.
            Tidak sampai disitu ‘penderitaanku.  Seorang sahabat dekat, tempatku biasa curhat dan menumpahkan unek-unek atas nama yang mulai membuatku resah dan gelisah, pun ikut-ikutan menambah panjang daftar nama panggilanku yang cukup membuat gerah.
            “Gak usah terlalu dimasukin hati ejekan teman-teman, toh mereka cuma becanda,”         
            “Becanda sih boleh, tapi Gue dah capek dibecanda-in terus.”
            “Lha, Elo bukan satu-satunya makhluk yang jadi ‘bulan-bulanan’ anak-anak karena punya nama yang (maaf) gak keren (he he he ).  Gue juga, tau!  Tutut Wahyuni.  Masih inget gak Lo, Si Aldi ngolokin Gue dengan menyanyikan lagu ‘naik kereta api’ …Tut…Tuut…Tuuut…”
            Aku tersenyum geli mengingat kejadian gokil di kelas tempo hari yang akhirnya menyulut pertikaian antara Tutut dan Aldi.  Sejenak aku terlupa akan derita yang melanda, ternyata sahabat terdekatku  juga bernasib sama.
            “Gue mau ganti nama aja deh, Tut.  Lo ada ide?”
            “Hmmm…., Sugiarti.  Gimana kalau diambil ‘Gia’nya aja.  Keren kan?”
            “Waaah, iya.  Bagus juga tuh.  Kesannya modern en keren.  Kok, selama ini Gue gak pernah kepikiran ya?  Thanks ya, Tut.”
            “He he he, Siapa dulu dong…. Tutut, gitu loh.  Eh, tapi … Lo tau gak artinya Gia?”
            Aku menggeleng, “Enggak.  Apa-an?”
            “Gia itu kepanjangan dari Garuda Indonesia Airways …ha ha ha.”
            GubraKKK..!!
            Buku yang aku pegang melayang ke kepala Tutut yang buru-buru kabur masuk kelas.
Aku menjerit bersamaan bunyi bel yang memaksaku menyeret langkah memburu Tutut.
”Puas, Lo? Puaaaaassssssss……?”
            Tutut masih cekikikan di bangkunya, saat Pak Budstaman, guru Managemen Perkantoran yang nyentrik tetapi baik hati masuk ke kelas.  Aku hanya bisa melototin mata pada Tutut dari seberang bangku.  Anak-anak lain sibuk beradu cepat duduk di kursi masing-masing.
            Tidak seperti biasanya, hari ini Pak Buds ( panggilan akrab Pak Budstamam ) memulai dengan ‘belajar membaca’ ( mengabsen ) nama-nama kami sekelas.
            Sementara aku masih asyik dengan pikiranku sendiri. Seputar namaku.  Sebenarnya sih, aku ‘sedikit’ lebih beruntung dibandingkan ketiga adik-adikku, karena sesungguhnya walaupun ‘cantik-cantik’ begini, namaku masih menduduki rangking pertama yang terpanjang…. Bukan di dunia, tetapi di lingkungan keluargaku.
Namaku terdiri dari delapan  huruf, masih lumayan panjang dibandingkan nama adik-adikku yang hanya berjumlah empat atau lima huruf saja, yaitu :  Akmal, Hanif, dan yang terakhir Afif.
            Walaupun  begitu, kalau ditilik dari jenis dan kumpulannya, namaku termasuk dari kumpulan yang terbuang seperti syairnya khairil Anwar, berjudul ‘aku’.
Nah, Loh…. Kenapa bisa begitu? Coba perhatikan dan teliti lagi dengan seksama nama ketiga adikku di atas. Walaupun nama mereka cukup singkat ( ini kalo gak mau dibilang pendek ya ), tetapi nama mereka cukup syarat, padat dan mempunyai makna yang lumayan hebat.
            Akmal dalam bahasa Arab berarti kesempurnaan, sementara Hanif adalah hamba Allah yang rajin beribadah, lalu yang terakhir, Afif berarti yang menjaga kehormatan.
Nah, namaku, Sugiarti. Sama sekali gak  termasuk di dalam bahasa Arab apalagi bahasa  Inggris.  (Whooaaa……*nangis sambil guling-guling, meratapi nasib ).          Aku bahkan sempat berfikir, jangan-jangan aku hanya anak pungut dan bukan anak kandung dari Bokap dan Nyokap.  Kalau ditilik dari nama saja, aku sudah berbeda dari saudara-saudaraku.  Apa lagi kalau di lihat dari wajah dan fisikku yang ‘kutilang’ alias kurus-tinggi-langsing, jelas-jelas aku adalah anak yang paling cantik diantara saudaraku…he he he.. bukannya bermaksud sombong.  Ini adalah sebuah kenyataan hidup yang sungguh sangat manis sekali he..he..he..(*senyum-senyum sendiri kegirangan).
 Bahwa aku memang yang tercantik diantara adik-adikku.  Ya, iyalah… soalnya adik-adikku ‘kan cowok semua…he..he..
Kembali pada pokok persoalan di awal tadi, terlepas aku adalah anak pungut atau bukan, syukur alhamdulillah, pikiran jelek itu terbantahkan oleh akte kelahiran yang sengaja kubongkar di koper tempat penyimpanan…, bukan penyimpanan harta karun, tetapi tempat penyimpanan surat-surat penting keluarga.
            Plooong… banget rasanya ketika mengetahui aku adalah anak kandung Bokap dan Nyokap, tetapi kenapa namaku beda banget ya?
            “Ehem…!”
            Aku gelagapan…kaget mendapati Pak Buds, sudah berdiri tepat di samping mejaku.
            “Sugiarti!  Apakah kamu butuh waktu untuk melamun? Saya akan berikan kamu 15 menit di luar atau di depan kelas, bagaimana?”
            “Eh maaf, Pak.  Enggak, Pak.  Saya baik-baik saja.”
            “Kamu yakin?”
            “Yakin, Pak.”
            “Saya tidak keberatan kalau ada yang melamun atau bermain-main di kelas, hanya saja, bukan sekarang saatnya, tetapi nanti setelah jam pelajaran saya selesai.  Bisa dipahami maksud saya?”
            “Bisa, Pak!”  Serentak seisi kelas menjawab kompak.
            “Woo … Dasar, R-Ugi,” teriak Aldi dari barisan paling belakang.
            “Kamu bilang apa, Aldi? R-Ugi? Siapa yang kamu maksudkan dengan Rugi?” Pak Buds ingin tahu.
            “Itu, Pak.  Si Sugiarti kan panggilannya R-Ugi..he..he..” Aldi tertawa senang karena merasa menang dan diikuti teman-teman sekelas lainnya.
            Suasana kelas mendadak jadi rame banget, ngalah-ngalahin pasar Suka Ramai yang berada tidak jauh dari sekolahanku.
            Aku hanya diam, tak bersuara, tetapi mataku sempat menjelajahi muka Pak Buds yang juga sempat tersenyum walau cuma se-iprit.
            “Oke, sudah cukup!” bentak Pak Buds yang diikuti dengan acara tutup mulut seisi kelas.  Mendadak suasana kelas berubah menjadi sunyi senyap bak di perkuburan.  Sepi, lengang, mencekam.  Sesekali terdengar bunyi ‘krucuk-krucuk’ cacing yang kelaparan entah dari perutnya siapa.
            Tiba-tiba, suara Pak Buds yang menggelegar, tapi masih kalah sama bunyinya halilintar, memecah kesunyian.
            “Nama itu adalah identitas diri kita.  Coba kalian bayangkan kalau ada seseorang yang tidak mempunyai nama.  Hayoo, bagaimana…?  Nama itu juga berarti sebuah do’a.  Do’a dari para orang tua untuk anaknya.  Masing-masing nama tentu mempunyai arti yang mungkin hanya diketahui orang tua itu sendiri.  Contohnya, nama Eka Putri, dari namanya kita bisa mengira-ngira, eka berarti satu dan putri adalah perempuan, jadi Eka Putri adalah anak perempuan nomor satu, betul Eka?”
            Si empunya nama mengangguk.
            “Kalau Sugiarti, artinya apa, Pak?” Tanyaku dengan semangat membara.
            “Hmmm, menurut saya, Sugiarti ini adalah nama dari suku jawa, betul?”
            Aku mengangguk,”Betul, Pak.  Ibu saya jawa, tetapi Bapak saya orang Melayu, Riau, Pak.”
            “Sugi atau Sugih dalam bahasa jawa berarti kaya dan Arti adalah makna atau maksud.  Jadi, Sugiarti, berarti kaya akan makna atau juga berarti untuk orang banyak.”
            Aku tersenyum, senang.
            “Atau, bisa juga berarti Baik, karena kata ‘su’ dalam bahasa Sangsekerta berarti baik.  Jadi, Saya yakin orang tua kamu mendo’akan kamu menjadi seorang anak baik yang kaya dan berarti bagi sesama.  Kalau dalam ajaran islam yang saya anut, ada aturannya dalam memberi nama anak, salah satunya dengan memberi nama yang baik.  Satu lagi, tidak boleh saling mengejek atau mengolok-olok dan memberikan gelaran jelek.” Pak Buds berhenti sebentar dan memandang Aldi dengan tatapan tajam, setajam silet.
            Yang dilihat hanya menundukkan wajah, bukan karena merasa bersalah, tetapi karena ngeliatin ‘gopek-an’ yang ada dibawah meja.
            “Untuk lebih jelasnya, kalian bisa lihat sendiri di Al-qur’an surah Al-Hujarat ayat 11, tentang larangan memperolok-olokkan orang.”
            He..he..he.. aku senyum-senyum sendiri di dalam hati, pelajaran managemen perkantoran hari ini jadi nyasar ke pelajaran agama. Gak pa-pa, aku justru bersyukur dalam hati karena dengan kejadiann ini, mudah-mudahan, teman-teman yang suka meledek dan mengejek-ejekku selama ini, diterima segala amal ibadahnya dan diberikan tempat yang sebaik-baiknya kelak….ups, maaf mereka ‘kan belum wafat..he he he…  Maksudku, semoga mereka segera insyaf dan bertobat, Aamiin.
            Sedangkan buat diriku sendiri, semoga aku segera sadar diri dan mensyukuri segala nikmat yang telah di beri, namaku Sugiarti, aku bangga menyandang nama ini kini, karena dalam nama ini ada do’a orang tuaku yang tulus untuk dan berharap suatu saat kelak aku akan menjadi anak yang baik dan ‘mengguncangkan’ dunia dengan nama ini.  Aamiin.
***TAMAT***
Read More