Oleh
: Sugiarti Ahmad
Katanya Eyang Shakespeare, itu lho, seorang pujangga Inggris yang sangat
terkenal dengan sebuah maha karyanya yang berjudul Romeo and Juliet, “What is a name.”
Kalau
bahasa kerennya sih kurang lebih berarti, “Apalah artinya sebuah nama.”
Mungkin,
bagi Eyang Shakespeare, nama bukanlah sesuatu yang perlu untuk diperdebatkan
dan diributkan.
Wah….,
gak gue banget, deh! Bagiku, nama adalah
sebuah bentuk lain dari ‘musibah’. Kenapa
begitu? Karena gara-gara sebuah nama, aku menjadi bahan olok-olokkan teman
sepermainan dan teman-teman di dunia persekolahan…
Sesungguhnya, nama pemberian orang
tuaku biasa aja, nggak aneh dan nggak norak banget. Ini sih, masih menurut pendapatku pribadi.:)
Baiklah
supaya gak pada penasaran dan bertanya-tanya, dan untuk menghindari keributan
bahkan sampai ada yang nggak bisa tidur segala gaga-gara mikirin namaku. Di sini bakalan diumum-in siapa sih
sebenarnya namaku.
Aku akan
ungkapkan semuanya, sejelas-jelasnya tanpa ada yang ditutup-tutupi seputar nama
asliku… (ciee serasa selebritis yang lagi dikejar-kejar pemburu berita ni…he..he..)
Okay, ready? Nama lengkap-kap pemberian orang
tuaku adalah …(*suara music mendebarkan…jreng..jeng..jeng..jreeeeeeng…), SUGIARTI,
titik. ‘Gak ada embel-embel lainnya.
Nama
yang sama sekali gak komersil dan gak keren abis. Nama yang kampungan dan banyak sekali dijumpai
di jalanan? Ah.. sebenernya gak juga sih bisa dijumpai di jalanan…he..he. Itu sih bisa-bisanya aku aja
mendramatisir. Cuma …ya memang nama
sejenis itu bisa dijumpai dibanyak tempat dan banyak diminati oleh beberapa
kalangan.
Di toko
kelontong depan rumahku aja ada, bukan untuk dijual …, tetapi pelayan tokonya,
ada yang bernama Sugiarti.
Dari
kalangan selebritis sampai kalangan yang hidup serba ‘miris’, ada yang memakai
nama ini.
Suatu
ketika, saat penyakit isengku kambuh, aku mencoba menelusuri nama ‘Sugiarti’ di tempatnya Mbah Google. Di luar
perkiraan, angka yang muncul adalah 680.000 ( enam ratus delapan puluh ribu
). Wuih, suatu angka yang fantastis
sekali, menurutku.
Data
ini aku dapat per tanggal 21 May 2012.
Dan akan selalu ada kemungkinan
jumlah ini terus bertambah. Seiring pertambahan penduduk yang sulit dicegah.
Ketika
aku telusuri lebih dalam daftar nama tersebut di tempatnya Mbah Google, aku menemukan bahwa ada yang memakai nama Sugiarti,
aja. Ada yang memakai sebagai nama depan, seperti Sugiarti Mawarni. Ada juga yang memakai sebagai nama belakang,
semisal Iis Sugiarti yang merupakan seorang penyanyi pada suatu tempo doeloe.
Pokoke…,
intinya..., nama Sugiarti ini adalah nama yang pasaran banget. Eh, tunggu
dulu…. Atau nama Sugiarti ini justru sebuah nama yang banyak digemari atau
bahasa kerennya booming? Waaah…. ( Ge- Er deh gw...he..he..) Entahlah! Tapi, yang jelas, menyandang nama ini membuat
hidupku terasa kehilangan nikmat dan manfaat.
Hu-uhh,
benar-benar sebuah nama yang membuat ‘gengsiku ancuuurr abiisss. MaluuuuUUU….
menyandang nama ini ( U– nya sengaja dibanyakin saking malunya dah tingkat tinggi
:).
Tambahan lagi dengan trennya orang
Indonesia yang suka memanggil nama orang dengan sepotong-sepotong. Lengkaplah sudah penderitaanku.
Di rumah, aku dipanggil dengan dua
huruf terakhir namaku, ‘Ti’ (baca : Tik). Sebenarnya gak ada yang
salah dengan nama panggilan
ini, Hanya saja, teman-teman sepermainanku
yang ‘kelewat’ kreatif lebih suka memanggilku dengan sedikit lebih
berirama. “Tik … Tik … Tik … bunyi hujan di atas genting”. Nah Lho,
malah nyanyi.
Sewaktu aku duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP),
teman-teman memberiku nama panggilan
baru. Episode namaku pada tingkatan ini lebih penuh ‘warna-warni’ bak
pelangi. Di masa ini, nama panggilanku menjadi lebih bervariasi.
Teman-teman sekolah yang kebetulan
sama-sama tergabung dalam gerakan pramuka memanggilku, Sugi. Ada yang berbaik hati memanggil dengan nama
lengkap, Sugiarti. Tetapi, ada juga yang
ngisengin memanggil dengan ‘ber-Sugi’
yang artinya kurang lebih membersihkan gigi atau bersiwak.
Memangnya
aku, si ‘Rainbow’, burung nuri yang suka
membersihkan plak-plak di gigi, hiiiyyy…
Itu
masih
bagus, teman sekelasku di Tsanawiyah, Roni yang kreatif dan cukup
aktif, malah lebih parah
lagi, memanggilku dengan dua huruf nama depanku, yaitu huruf ‘S’ dan
‘U’ menjadi Su. Kalau hanya memanggil ‘Su’ saja sebenarnya
gak masalah. Lha, ini memanggilnya
berulang-ulang.
“Su…
Su…. Su-Su.”
Emangnya gue pedang susu apa!
Sebel!
Lain
Tsanawiyah, lain pula cerita namaku pada masa SMK. Pada masa awal-awal Sekolah Menengah Kejuruan
( SMK ) ini, aku mendapatkan nama panggilan baru. Mayoritas teman-temanku di SMK, memanggilku,
Ugie.
Menurutku,
panggilan ini lumayan enak didengar dan sedikit unik. Aku mulai jatuh hati pada nama ini dan mulai
mensosialisasikan nama panggilan ini ke teman-teman di sekolah yang baru.
“Panggil aja, Ugie,” kataku suatu
kali pada Tongku, seorang teman yang sama-sama aktif di OSIS.
“Hah! Apa?”
“Ugie. U-G-I.” ejaku.
“Oh, Ugi. Gue kira tadi apa-an. Untung gak ada ‘R’-nya ya? Kalo ada…. ‘kan jadi R-ugi..…ha ha ha,”
tawanya lepas.
Aku ikutan tersenyum, walaupun sesungguhnya dalam hati
sedikit ‘manyun’.
Tidak
sampai disitu ‘penderitaanku. Seorang
sahabat dekat, tempatku biasa curhat dan menumpahkan unek-unek atas nama yang
mulai membuatku resah dan gelisah, pun ikut-ikutan menambah panjang daftar nama
panggilanku yang cukup membuat gerah.
“Gak usah terlalu dimasukin hati ejekan
teman-teman, toh mereka cuma becanda,”
“Becanda sih boleh, tapi Gue dah
capek dibecanda-in terus.”
“Lha, Elo bukan satu-satunya makhluk
yang jadi ‘bulan-bulanan’ anak-anak karena punya nama yang (maaf) gak keren (he
he he ). Gue juga, tau! Tutut Wahyuni.
Masih inget gak Lo, Si Aldi ngolokin
Gue dengan menyanyikan lagu ‘naik kereta api’ …Tut…Tuut…Tuuut…”
Aku tersenyum geli mengingat
kejadian gokil di kelas tempo hari yang akhirnya menyulut pertikaian antara Tutut
dan Aldi. Sejenak aku terlupa akan
derita yang melanda, ternyata sahabat terdekatku juga bernasib sama.
“Gue mau ganti nama aja deh,
Tut. Lo ada ide?”
“Hmmm…., Sugiarti. Gimana kalau diambil ‘Gia’nya aja. Keren kan?”
“Waaah, iya. Bagus juga tuh. Kesannya modern en keren. Kok, selama ini Gue gak pernah kepikiran
ya? Thanks ya, Tut.”
“He he he, Siapa dulu dong…. Tutut,
gitu loh. Eh, tapi … Lo tau gak artinya
Gia?”
Aku menggeleng, “Enggak. Apa-an?”
“Gia itu kepanjangan dari Garuda
Indonesia Airways …ha ha ha.”
GubraKKK..!!
Buku yang aku pegang melayang ke
kepala Tutut yang buru-buru kabur masuk kelas.
Aku
menjerit bersamaan bunyi bel yang memaksaku menyeret langkah memburu Tutut.
”Puas,
Lo? Puaaaaassssssss……?”
Tutut masih cekikikan di bangkunya,
saat Pak Budstaman, guru Managemen Perkantoran yang nyentrik tetapi baik hati
masuk ke kelas. Aku hanya bisa melototin
mata pada Tutut dari seberang bangku.
Anak-anak lain sibuk beradu cepat duduk di kursi masing-masing.
Tidak seperti biasanya, hari ini Pak
Buds ( panggilan akrab Pak Budstamam ) memulai dengan ‘belajar membaca’ (
mengabsen ) nama-nama kami sekelas.
Sementara aku masih asyik dengan
pikiranku sendiri. Seputar namaku. Sebenarnya
sih, aku ‘sedikit’ lebih beruntung dibandingkan ketiga adik-adikku, karena
sesungguhnya walaupun ‘cantik-cantik’ begini, namaku masih menduduki rangking
pertama yang terpanjang…. Bukan di dunia, tetapi di lingkungan keluargaku.
Namaku
terdiri dari delapan huruf, masih
lumayan panjang dibandingkan nama adik-adikku yang hanya berjumlah empat atau
lima huruf saja, yaitu : Akmal, Hanif,
dan yang terakhir Afif.
Walaupun begitu, kalau ditilik dari jenis dan kumpulannya,
namaku termasuk dari kumpulan yang terbuang seperti syairnya khairil Anwar, berjudul
‘aku’.
Nah,
Loh…. Kenapa bisa begitu? Coba perhatikan dan teliti lagi dengan seksama nama
ketiga adikku di atas. Walaupun nama mereka cukup singkat ( ini kalo gak mau
dibilang pendek ya ), tetapi nama mereka cukup syarat, padat dan mempunyai makna
yang lumayan hebat.
Akmal dalam bahasa Arab berarti
kesempurnaan, sementara Hanif adalah hamba Allah yang rajin beribadah, lalu
yang terakhir, Afif berarti yang menjaga kehormatan.
Nah,
namaku, Sugiarti. Sama sekali gak termasuk di dalam bahasa Arab apalagi
bahasa Inggris. (Whooaaa……*nangis sambil guling-guling,
meratapi nasib ). Aku bahkan sempat
berfikir, jangan-jangan aku hanya anak pungut dan bukan anak kandung dari Bokap
dan Nyokap. Kalau ditilik dari nama saja,
aku sudah berbeda dari saudara-saudaraku.
Apa lagi kalau di lihat dari wajah dan fisikku yang ‘kutilang’ alias kurus-tinggi-langsing,
jelas-jelas aku adalah anak yang paling cantik diantara saudaraku…he he he..
bukannya bermaksud sombong. Ini adalah
sebuah kenyataan hidup yang sungguh sangat manis sekali he..he..he..(*senyum-senyum
sendiri kegirangan).
Bahwa aku memang yang tercantik diantara
adik-adikku. Ya, iyalah… soalnya
adik-adikku ‘kan cowok semua…he..he..
Kembali
pada pokok persoalan di awal tadi, terlepas aku adalah anak pungut atau bukan,
syukur alhamdulillah, pikiran jelek itu terbantahkan oleh akte kelahiran yang sengaja
kubongkar di koper tempat penyimpanan…, bukan penyimpanan harta karun, tetapi
tempat penyimpanan surat-surat penting keluarga.
Plooong… banget rasanya ketika
mengetahui aku adalah anak kandung Bokap dan Nyokap, tetapi kenapa namaku beda
banget ya?
“Ehem…!”
Aku gelagapan…kaget mendapati Pak
Buds, sudah berdiri tepat di samping mejaku.
“Sugiarti! Apakah kamu butuh waktu untuk melamun? Saya
akan berikan kamu 15 menit di luar atau di depan kelas, bagaimana?”
“Eh maaf, Pak. Enggak, Pak.
Saya baik-baik saja.”
“Kamu yakin?”
“Yakin, Pak.”
“Saya tidak keberatan kalau ada yang
melamun atau bermain-main di kelas, hanya saja, bukan sekarang saatnya, tetapi
nanti setelah jam pelajaran saya selesai.
Bisa dipahami maksud saya?”
“Bisa, Pak!” Serentak seisi kelas menjawab kompak.
“Woo … Dasar, R-Ugi,” teriak Aldi
dari barisan paling belakang.
“Kamu bilang apa, Aldi? R-Ugi? Siapa
yang kamu maksudkan dengan Rugi?” Pak Buds ingin tahu.
“Itu, Pak. Si Sugiarti kan panggilannya R-Ugi..he..he..”
Aldi tertawa senang karena merasa menang dan diikuti teman-teman sekelas
lainnya.
Suasana kelas mendadak jadi rame
banget, ngalah-ngalahin pasar Suka Ramai yang berada tidak jauh dari sekolahanku.
Aku hanya diam, tak bersuara, tetapi
mataku sempat menjelajahi muka Pak Buds yang juga sempat tersenyum walau cuma
se-iprit.
“Oke, sudah cukup!” bentak Pak Buds
yang diikuti dengan acara tutup mulut seisi kelas. Mendadak suasana kelas berubah menjadi sunyi
senyap bak di perkuburan. Sepi, lengang,
mencekam. Sesekali terdengar bunyi
‘krucuk-krucuk’ cacing yang kelaparan entah dari perutnya siapa.
Tiba-tiba, suara Pak Buds yang
menggelegar, tapi masih kalah sama bunyinya halilintar, memecah kesunyian.
“Nama itu adalah identitas diri kita. Coba kalian bayangkan kalau ada seseorang
yang tidak mempunyai nama. Hayoo,
bagaimana…? Nama itu juga berarti sebuah
do’a. Do’a dari para orang tua untuk
anaknya. Masing-masing nama tentu
mempunyai arti yang mungkin hanya diketahui orang tua itu sendiri. Contohnya, nama Eka Putri, dari namanya kita
bisa mengira-ngira, eka berarti satu dan putri adalah perempuan, jadi Eka Putri
adalah anak perempuan nomor satu, betul Eka?”
Si empunya nama mengangguk.
“Kalau Sugiarti, artinya apa, Pak?”
Tanyaku dengan semangat membara.
“Hmmm, menurut saya, Sugiarti ini
adalah nama dari suku jawa, betul?”
Aku mengangguk,”Betul, Pak. Ibu saya jawa, tetapi Bapak saya orang
Melayu, Riau, Pak.”
“Sugi atau Sugih dalam bahasa jawa
berarti kaya dan Arti adalah makna atau maksud.
Jadi, Sugiarti, berarti kaya akan makna atau juga berarti untuk orang
banyak.”
Aku tersenyum, senang.
“Atau, bisa juga berarti Baik, karena
kata ‘su’ dalam bahasa Sangsekerta berarti baik. Jadi, Saya yakin orang tua kamu mendo’akan
kamu menjadi seorang anak baik yang kaya dan berarti bagi sesama. Kalau dalam ajaran islam yang saya anut, ada
aturannya dalam memberi nama anak, salah satunya dengan memberi nama yang
baik. Satu lagi, tidak boleh saling
mengejek atau mengolok-olok dan memberikan gelaran jelek.” Pak Buds berhenti
sebentar dan memandang Aldi dengan tatapan tajam, setajam silet.
Yang dilihat hanya menundukkan
wajah, bukan karena merasa bersalah, tetapi karena ngeliatin ‘gopek-an’ yang
ada dibawah meja.
“Untuk lebih jelasnya, kalian bisa
lihat sendiri di Al-qur’an surah Al-Hujarat ayat 11, tentang larangan
memperolok-olokkan orang.”
He..he..he.. aku senyum-senyum
sendiri di dalam hati, pelajaran managemen perkantoran hari ini jadi nyasar ke
pelajaran agama. Gak pa-pa, aku justru bersyukur dalam hati karena dengan
kejadiann ini, mudah-mudahan, teman-teman yang suka meledek dan mengejek-ejekku
selama ini, diterima segala amal ibadahnya dan diberikan tempat yang
sebaik-baiknya kelak….ups, maaf mereka ‘kan belum wafat..he he he… Maksudku, semoga mereka segera insyaf dan
bertobat, Aamiin.
Sedangkan buat diriku sendiri, semoga
aku segera sadar diri dan mensyukuri segala nikmat yang telah di beri, namaku
Sugiarti, aku bangga menyandang nama ini kini, karena dalam nama ini ada do’a
orang tuaku yang tulus untuk dan berharap suatu saat kelak aku akan menjadi
anak yang baik dan ‘mengguncangkan’ dunia dengan nama ini. Aamiin.